Krisis dalam Bersikap Kritis

Ryan Hafizan
3 min readJun 20, 2020

--

. . .

Bukan hal yang dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan sehari-hari bersikap kritis hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki pengaruh yang besar. Jika ada di antara kita berlagak seperti sok iya itu maka akan jadi bahan cemo’oh satu tongkrongan. Kita memang tidak mengetahui orang yang sedang berlagak kritis itu memang ingin memaparkan narasinya dengan sungguh-sungguh atau hanya caper saja. Berlaku kritis hanya boleh dilakukan pada kondisi formal saja. Hukum sosial mengatakan seperti itu atau begitulah pemikiran dari beberapa di antara kita.

Isu-isu sosial yang sedang terjadi sering kali kita dengar setiap hari. Hal yang lumrah jika dalam sehari saja sudah mendengar banyak isu yang sudah tersebar di masyarakat. Akan tetapi, berbeda jika sudah menanggapinya. Society menganggap jika kita sudah menanggapi atau merespons hal tersebut itu sudah kelewat batas. Kita hanya diizinkan mendengar dan mengetahui saja. Kita tidak diperbolehkan memberi pendapat bahkan narasi yang sesuai dengan fakta lapangannya. Namun, jika itu sudah bersenggolan dengan keyakinan, barulah kita boleh merespon hal tersebut. Bahkan, respon saja tidak cukup, harus beraksi, turun ke jalan, menyuarakan aspirasi rakyat. Setidaknya itu yang kita lihat sendiri pada lapangannya. Kalau isu itu hanya soal politik, hukum yang caur, ras yang diasingkan, wilayah yang diperlakukan seperti habis manis sepah dibuang; lebih baik cari aman, diam saja.

‘aku males kalo dah bahas politik ni,’ dilontarkan oleh salah satu orang yang menganggap bahwa dia tidak ingin membahas yang berhubungan langsung dengan hidupnya. Beranggapan bahwa hidup hanya mencari uang, ibadah, bersenda gurau dan melakukan apa yang ia anggap suka. Ia tidaklah salah. Bahkan hal tersebut tercantum pada salah satu kitab suci suatu agama. Namun, mengganggap kita tidak berhubungan dengan hal-hal berbau politik dan hukum adalah suatu sikap naif yang masih terletak di kepala kita.

Mengabaikan hal-hal yang penting hanya beralasan tidak ingin ikut-ikutan dan menganggap bahwa itu bukan ranah kita saja, tanpa memandang perspektif lainnya itu sama saja melarikan diri dari permasalahan. Kita tidak lahir dari dunia ini dan diharapkan menjadi pengecut. Bahkan Tuhan saja menurunkan Adam ke bumi untuk menjadi pemimpin planet yang berjarak ±147 juta kilometer dari pusat tata surya. Apa salahnya bersikap adil? Mencari jalan tengah memanglah susah. Jika gampang maka tidak payah-payah para pejuang setiap harinya memperjuangkan hak-nya dan hak kita yang mungkin tidak kita hiraukan. Masih banyak hal yang perlu kita pelajari. Merasa cukup memanglah bagus tetapi tidak sesuai jika sedang dalam proses menuju kebaikan. Kebaikan memanglah bersifat subjektif dan tiap orang berbeda pandangan akan hal itu. Stephen hawking dalam bukunya The Grand Design yang mengatakan bahwa kita boleh memiliki pemikiran atau pandangan tersendiri namun efektif atau tidaknya pemikiran kita terhadap kejadian yang sedang kita hadapi. Misalnya kita boleh berpendapat bumi itu datar namun saat menghitung perputaran dan peletakan satelit dan kita menerapkan bahwa bumi itu datar, maka tidak akan sesuai dengan apa yang terjadi pada lapangannya. Kebaikan yang kita lakukan haruslah efektif pada permasalahan yang sedang kita hadapi. Berdampak baik atau buruknya dapat kita perhitungkan dengan berbagai pertimbangan sebab-akibat yang kita lakukan.

Bersikap kritis tidaklah salah sepenuhnya. Bahkan dibenarkan agar apa yang kita lakukan itu sudah efektif dan mampu menghasilkan nilai plus yang lebih banya dibandingkan nilai minusnya. Hal tersebut memang ada benarnya. Jangan naif akan hal itu. Semua hal yang kita ketahui dan lakukan pada akhirnya akan ada benang merahnya.

--

--

Ryan Hafizan
Ryan Hafizan

Written by Ryan Hafizan

0 Followers

ingin berguna di umur 21. || makanan manis, menjadi Columnist dan Future Scientist.

No responses yet