Irisan

Ryan Hafizan
3 min readFeb 2, 2021

--

Oreki Houtarou

Rabu, 3 Februari 2021 04.50 WIB

Setelah menjalani hari yang sangat melelahkan karena pergi untuk melakukan foto produk baju jualan, mengobrol dari siang sampai malam, dan berakhir dengan kaki pegal dan tidur dengan cepat. Terbangun pukul 02.19 WIB, pesan masuk dari seorang teman 10 menitan sebelumnya dan berkata ‘hot news.’ Lalu mengatakan suatu hal yang sudah dipercayai sudah terjadi sebelumnya namun baru terkuak kenyataannya. Tidak ada hal yang spesial. Bukan karena sudah mengiranya dari awal. Akan tetapi, karena sudah tidak peduli lagi akan hal itu. Saat berlangsung percakapan melalu salah satu aplikasi chatting tersebut, muncul di kepala, benang merahnya hanyalah aku tetaplah menjadi aku. Aku yang dulu itu tidaklah buruk. Tidak ada yang salah dari sifat tidak peduli terhadap urusan dan apa kata orang terhadap aku. Di kepala kembali ingatan saat menduduki tingkat SMP dan berkata dengan wajah flat dan tanpa ekspresi, ‘haha membosankan.’

Lanjut menonton anime berjudul ‘Hyouka’ yang berceritakan anak sma yang dipaksa oleh kakaknya untuk masuk ke klub sastra klasik agar mengubah cara hidupnya yang ‘biasa saja.’ Dan dari hal tersebut aku mengambil benang merahnya, apa salahnya menjadi ‘biasa saja’? Kenapa bersifat menjadi diri sendiri itu selalu harus disesuaikan dalam kehidupan sosial? the bigger picture of question is ‘Kenapa semuanya harus beririsan dengan realita?’ Setiap pertanyaan hanya akan menimbulkan jawaban yang berbeda pula jika kita tanyakan ke orang-orang. Tidak ada yang bisa menjawab persis sama. Tidak ada peng-kotakan dalam jawaban tersebut. Namun, masih mungkin ada kemiripan dalam menarik kesimpulan dari opini-opini yang ada.

Oreki Houtarou, selalu ‘menghemat tenaga’-nya dalam melakukan sesuatu. Jika tidak perlu dilakukan maka ia tidak akan melakukannya tanpa ada keraguan dalam hal itu. Akan tetapi, jika ada hal yang harus dilakukannya, maka akan dia cari cara tercepat dalam menyelesaikannya. Dalam artian yang sering orang sebut ke diri aku, ‘tidak mau ribet.’

Bagaimana bisa seseorang memasukkan dirinya ke dalam hal yang membuat diri sendiri ke dalam sebuah metode yang tidak sesuai dengan karakter diri ia sendiri?

Apakah itu hanya akan menyiksa dirinya sendiri?

Kenapa ia tidak pernah berpikir bahwa cara itu hanya cocok dengan orang yang menyarankannya tetapi tidak untuk dirinya sendiri?

Mengapa ia tidak membuat dirinya menerima saran itu dan menjalankannya sesuai dengan bagaimana cara yang sesuai dengan dirinya?

Kenapa dia tidak menggunakan cara ATM yaitu Amati, Tiru, Modifikasi?

Sangat banyak pertanyaan yang akan muncul dari setiap pertanyaan tersebut. Tidak hanya jawaban yang berbeda saja. Jika kalian tanya kepada aku bagaimana agar hal itu tidak dapat terjadi? jawaban aku hanya ‘yaudah kebebasan dalam bertindak itu hanya tergantung diri kita sendiri. Kalo mau dijalankan, yaudah jalankan. Kalo ngga mau, yaudah jangan. Kalo segan, yaudah terapin dengan cara sendiri.’

Terdapat kata ‘yaudah’ dalam setiap saran itu untuk men-simplifikasi hal tersebut. Hanya menyederhanakannya saja. Tidak ada yang spesial dalam hal itu, bukan?

Semua hal itu akan beririsan dengan realita karena kita hidup di dalam sebuah realita yang sebenarnya. Kehidupan sosial termasuk ke dalam realita tersebut. Tidak ada hal yang menonjol dari hal tersebut. Akan tetapi, tidak ada salahnya kita mensyukuri hal tersebut. Hal tersebut terjadi karena ada hal atau pesan yang akan membua kita belajar. Baik atau buruknya bisa kita ambil dalam kedua sisi tersebut.

--

--

Ryan Hafizan
Ryan Hafizan

Written by Ryan Hafizan

0 Followers

ingin berguna di umur 21. || makanan manis, menjadi Columnist dan Future Scientist.

No responses yet