“Emang udah seberapa jauh mainnya?”
main kau kurang jauh!
Kalimat yang dilontarkan salah satu teman yang melihat sikap lawan bicaranya yang berbicara terlalu ‘lugu’ dan ‘sok tahu segalanya.’ Perkataan tersebut memecahkan suasana yang awalnya sedikit riweuh, menjadi canggung dan hilang rasa untuk dilanjutkan lagi. Percakapan yang tidak terlalu kompleks tetapi condong ke arah pembicaraan yang serius.
Dari pukul 02.00 dini hari, pikiran telah terlempar dan jatuh ke dalam jurang dunia yang sedang digeluti layaknya seorang mahasiwa semester 7 lainnya. Rasa mual dan tak tahan yang sudah tidak karuan seperti indikator bensin telah mencapai 2 kotak terakhir sebelum mencapai tanda ‘E’ akibat membaca dan mempelajari jurnal-jurnal yang tidak ada habisnya itu. Namun, dibalik kepahitan itu, cuaca dan keadaan sedang mendukung untuk melakukan aktivitas yang lumayan berat itu: ‘Dingin dan tenang.’
Setelah ingin melaksanakan aktivitas selanjutnya yang Alhamdulillah bukan tentang duniawi tersebut, tiba-tiba teringat kata-kata yang sangat menjadi patokan seorang yang menganggap dirinya itu open-minded di kalangan anak tongkrongan; kurang jauh. Lalu berpikir, ‘jauh di sini itu apa?’ Sebesar apa cakupannya untuk sampai ‘jauh’ itu? Apakah jarak? Besarnya pergaulan? pertemanan yang di mana-mana? atau siapa yang lebih dulu merasakan pahitnya kehidupan?
Jika hanya itu saja, maka batasannya tidak akan jelas; batasannya tidak akan mencakup semua orang atau universal. Tiap-tiap orang berbeda-beda kemampuannya. Tiap-tiap orang berbeda-beda takarannya. Sehingga menitikberatkan pada perlombaan siapa yang paling pahit kehidupannya saja, tidak akan memberikan penjelasan yang jelas untuk siapapun. Akan tetapi ada hal yang dapat mempersatukan semuanya, menjadi alat batas ukur untuk semua orang, yang dirasakan semua orang; Penderitaan Universal.
Siddharta Gautama atau dikenal dengan nama Buddha Gautama merupakan seorang pangeran dari kerajaan kecil yang berada di bawah kaki gunung Himalaya, tepatnya di Nepal. Saat 12 tahun sebelum kelahirannya, para Brahmana telah meramalkan bahwa Ia akan menjadi Pendeta legendaris atau menjadi Raja yang Agung. Namun, ayahnya yaitu Raja Suddhodana tidak menginginkan anaknya menjadi seorang Pendeta sehingga memberikan segalanya kepada anaknya dan menutup anaknya dari kehidupan dunia luar.
Saat sudah menginjak umur 20an, ia menemukan sesuatu hal yang belum pernah dia lihat dan alami; seorang lelaki yang sakit, seorang lelaki tua, dan mayat yang sedang dibawa ke tempat pembakaran. Dari situlah, rasa penasarannya semakin kuat akan dunia luar. Hal tersebut memicu berbagai pertanyaan yang membawanya terus mengeksplorasi dan melihat seorang pertapa yang mengundurkan diri dari kehidupan duniawi dan mencari pembebasan dari ketakutan manusia akan kematian dan penderitaan. Siddharta mendorong orang-orang untuk mengikuti jalan keseimbangan daripada mengikuti jalan yang ekstrim. Jalan tersebut dinamakannya The Middle Way.
Jika ditarik benang merah-nya dari cerita tersebut, arti dari ‘jauh’ yang sering kita dengar dari kerabat-kerabat kita, mungkin saja artinya tidak serumit yang kita pikirkan. Dari cara bagaimana seseorang mampu menghargai sekitarnya, mampu untuk memanusiakan manusia lainnya. Seorang pangeran yang hidupnya sudah layaknya surga dunia, tidak pernah merasakan pahitnya kehidupan, memiliki semuanya yang ia inginkan, namun mampu menghargai orang lain dan sekitarnya. Dibandingkan orang yang telah merasakan pahitnya kehidupan dan hanya menuntut keadilan dalam kehidupannya tersebut, tetapi tak mampu mengambil apa intisari dalam kehidupan ini. Ketidakmampuannya dalam membuka mata hanya merugikan dirinya dan orang lain di sekitarnya saja.
Buddha Gautama dapat dikatakan sangat jauh mengeksplorasi dunia luar, tetapi bukan itu intinya. Dalam setiap perjalan hidupnya yang ia lewati, ia mengambil pelajaran dalam setiap rintangan yang ia lalui sampai mendapatkan Pencerahan Sempurna yaitu menghargai nilai-nilai kehidupan yang banyak orang tidak sadar akan ada keberadaannya.